“Saya ingin membeli kehormatan.”
“Loh bukannya minggu lalu bapak telah membeli kehormatan di sini, apakah kehormatan yang bapak beli telah rusak, hilang atau…”
“Tidak, kehormatan yang saya beli minggu lalu di sini sangat baik, saya sangat menyenanginya. Tapi kemarin sahabat saya dari kampung datang ke rumah dan meminta kehormatan itu. Makanya sekarang saya mau beli lagi, karena kehormatan yang saya beli minggu lalu telah saya berikan pada sahabatku.
“Oh, baguslah kalau begitu. Tadinya kupikir ada masalah dengan kehormatan yang bapak beli… Bukan apanya, saya tidak ingin mengecewakan para pembeli kehormatan di warung ini. Bapak sendiri tahu, sekarang ini telah banyak warung-warung baru yang juga menjual kehormatan, jadi saya harus memastikan kalau semua pelanggan merasa puas dengan kehormatan yang saya jual, agar mereka tidak berpindah ke warung lain.”
“Hehe, jangan khawatir, saya dan semua pelanggan Ibu tidak akan berpindah ke warung yang lain. O ya, saya sedang buru-buru, sebentar lagi saya akan menyampaikan pidato akhir tahun di parlemen. Tolong ambilkan kehormatan yang ada di sudut sana. Saya ingin memakainya di atas podium nanti.”
***
Pemilik warung itu bernama Zubaedah. Setiap hari ia menjual kehormatan pada orang-orang yang membutuhkan. Akhir-akhir ini kebutuhan akan kehormatan memang sedang meningkat. Mungkin hal itu disebabkan karena banyak orang yang kehilangan kehormatan gara-gara kecurian saat melaksanakan aktifitas dan rutinitas kehidupan, atau aus oleh gesekan jaman dan peradaban manusia.
Ada juga orang yang memang sengaja menyerahkan kehormatannya-sebagai hadiah Ulang Tahun atau sebagai kado istimewa di hari kasih sayang, untuk orang-orang yang mereka cintai.
Selain itu ada juga trend baru di kalangan elit, menyerahkan kehormatan kepada para kolega, sebagai ungkapan balas jasa atas tender-tender proyek besar atau pelicin jalan atas pengesahan undang-undang yang berpotensi untuk menghasilkan kursi-kursi empuk di teras kantor. Tapi mereka harus membeli kehormatan baru untuk mengganti kehormatan yang sudah tidak ada, atau paling tidak sudah tidak bisa dipakai lagi. Hampir semua orang masih malu-malu untuk hidup tanpa sebuah kehormatan, meski itu hanya kehormatan tiruan seperti yang ada di warung Zubaedah.
Warung Zubaedah pun menjadi ramai, bahkan kadang kehabisan stok persediaan. Tidak jarang pelanggan-pelanggan itu harus memesan lebih awal, terutama untuk membeli kehormatan yang lebih berkualitas. Kalau tidak, bisa-bisa hanya dapat kehormatan murahan yang diproduksi di Dalam Negeri.
***
Zubaedah tersenyum-senyum sendiri saat menghitung beberapa lembar uang yang diberikan oleh lelaki setengah baya yang baru saja membeli kehormatannya. Parasnya berseri-seri, seperti sedang menemukan keberuntungan yang luar bisa. Setelah itu, seperti biasanya, Zubaedah selalu punya waktu untuk merapikan kehormatan yang masih terpajang di etalase warungnya. Beberapa kehormatannya harus di lap agar tetap kelihatan mengkilap dan tampak baru. Warung Zubaedah memang berada dipinggiran jalan raya, setiap saat debu beterbangan lalu menempel di barang-barang kehormatannya.
“Usaha jual beli kehormatan ini ternyata sangat menjanjikan, tidak lama lagi saya akan menjadi orang yang kaya raya, hehe...”
Beberapa menit kemudian, seorang perempuan yang mungkin baru berumur Enam Belas tahun, masuk ke warung Zubaedah. Pandangannya langsung tertuju pada beberapa kehormatan yang terpajang di dalam warung.
“Apa kamu tidak salah masuk Nak?”
Zubaedah mendekati lalu menyapa gadis itu.
“Tidak, saya memang ingin masuk di sini lalu membeli kehormatan, apakah ada yang tampak salah Bu?”
“Hehe, sebenarnya tidak ada yang salah, bahkan saya sangat senang menjual kehormata-kehormatan ini kepadamu. Saya cuma heran, baru kali ini ada perempuan yang masih sangat muda masuk ke warungku, maklum selama ini saya hanya sering melayani orang-orang tua Nak.”
“O begitu ya Bu, tapi boleh kan saya membeli kehormatan di sini?”
“Tentu saja, tapi kalau boleh tahu, mengapa kamu ingin membeli kehormatan, apakah kamu sudah tidak punya kehormatan lagi Nak?”
“Tadi siang di kampus, pacar saya meminjam kehormatanku, mungkin besok baru dikembalikan. Tapi saya takut pulang ke rumah tanpa kehormatan, ayah pasti memarahiku. Saya harus membeli kehormatan Bu.”
“Kamu terlalu baik pada pacarmu Nak. Hati-hati, siapa tahu pacarmu tidak mengembalikan kehormatanmu lagi. Laki-laki memang selalu senang mengambil kehormatan perempuan, dengan cara-cara yang halus… O ya, mungkin ini cocok buat kamu.”
Zubaedah menyodorkan sebuah kehormatan pada gadis itu.
“Sungguh terlihat indah, sangat mirip dengan kehormatan yang dipinjam oleh pacarku, berapa harga kehormatan ini Bu?”
“Lihat saja harga yang tertera di situ Nak?”
“Akh, mahal benar Bu, apa tidak bisa ditawar lagi?”
“Hehe, memang agak mahal. Tapi kualitasnya sangat bagus. Kehormatan itu terbuat dari bahan-bahan yang dipesan di luar negeri Nak.”
“Tapi ini sangat mahal buat saya Bu, atau mungkin ada kehormatan lain yang lebih murah?”
“Sebenarnya banyak yang lebih murah, tapi buatan Dalam Negeri, kualitasnya tidak terjamin. Paling-paling dipakai seminggu saja sudah rusak. Ibu menyarankan kamu membeli yang ini saja. Sedikit mahal, tapi tahan lama. Ibu bisa memberi potongan harga kalau kamu mau.”
“Em, baiklah kalau begitu, saya membeli yang ini saja.”
Gadis itu merogoh isi dompetnya, lalu memberikan sejumlah uang sabagaimana harga yang harus dibayarkan kepada Zubaedah.
“Terima kasih Nak.”
“Sama-sama Bu.”
“O ya Nak, suruh pacarmu mengembalikan kehormatan yang telah kau pinjamkan itu. Bagaimana pun, pasti kehormatan milikmu jauh lebih bagus dari seluruh kehormatan yang ada di warung ini.”
Zubaedah kembali menyapa sang gadis belia, tapi gadis itu tak menanggapinya lagi. Ia keluar dari warung dan seketika membaur dengan riuh-rendahnya situasi jalan raya.
“Rupanya anak-anak muda juga mulai banyak yang kehilangan kehormatan, ini pasti sangat baik buat perkembangan warungku.”
Zubaedah bergumam sendiri tanpa pernah menanggalkan sinar keceriaan diwajahnya.
***
Baru beberapa bulan Zubaedah membuka usahanya, tapi keuntungan yang didapat sudah lumayan besar. Dari hasil usahanya itu, Zubaedah bisa membiayai ketiga anaknya yang masih duduk di bangku sekolah. Bahkan kini Zubaedah bisa memperbaiki rumah, satu-satunya peninggalan yang sangat berharga dari Jamal, almarhum suaminnya.
Barangkali Zubaedah lebih kreatif daripada orang-orang yang memilih menjadi penjual sayur, keripikik singkong atau minyak goreng. Peluang pasar kehormatan ternyata jauh lebih besar daripada jualan-jualan lain yang sering dijajakan di pasar minggu atau pasar malam. Pelanggannya pun datang dari berbagai kalangan, mulai dari masyarakat biasa hingga kalangan luar biasa.
Orang-orang modern kini lebih senang membeli kehormatan daripada membuat sendiri di rumah. Selain lebih praktis, ternyata juga lebih murah, apalagi bila mengingat betapa susahnya membuat sebuah kehormatan.
Dulu, di kota itu, hanya Zubaedah yang membuka warung kehormatan. Tapi sekarang, telah banyak orang yang mulai tertarik menekuni usaha yang satu ini. Hal ini pasti terjadi karena perkembangan warung Zubaedah yang terlihat meningkat pesat dari hari ke hari.
“Daripada pusing memikirkan sumber penghasilan yang baru, lebih baik latah pada ide-ide yang sudah terbukti bisa menghasilkan banyak uang.”
Selain membuka warung kehormatan seperti yang ditekuni oleh Zubaedah, ada juga orang yang membuat bengkel kehormatan, seperti yang dilakukan oleh Pak Yusgiantoro. Di bengkel Pak Yusgiantoro, orang-orang bisa memperbaiki kehormatan yang telah rusak, rusak ringan atau rusak berat sekali pun. Lain lagi dengan yang dilakukan oleh Mbak Suberti, dia membuka toko gadai kehormatan. Di sana orang-orang bisa menggadaikan kehormatan untuk mendapatkan pinjaman uang, administrasinya bisa diurus hanya beberapa menit saja. Mana lagi Pak Joko Prianto Wardana yang membuka usaha tukar tambah kehormatan. Pokoknya macam-macam, Zubaedah telah menginspirasi sekian banyak orang untuk membuka usaha yang sangat berkaitan dengan kehormatan.
Meski banyak usaha kehormatan baru, tapi hal itu tidak membuat warung kehormatan milik Zubaedah menjadi sepi. Mungkin setiap hari, konsumen kehormatan juga semakin bertambah, seiring bertambahnya dinamika kehidupan umat manusia.
Zubaedah sering menghayal…
“Suatu saat warung kecil ini akan berubah menjadi perusahaan yang super megah, orang-orang dari seluruh penjuru negeri akan datang mencari kehormatan di sini. Suatu saat saya betul-betul akan kewalahan melayani pembeli yang jumlahnya mungkin ribuan. Akh… saya harus mempekerjakan beberapa karyawan, dengan gaji yang besar. Karyawanku nanti adalah orang-orang yang profesional. Ada akuntan, ahli manajemen, entertainer, sarjana ekonomi,… pokoknya saya akan menjadi direktur perusahaan kehormatan yang tersukses di negeri ini. Kalau perlu, saya akan membuka cabang-cabang perusahaan di setiap kabupaten dan kecamatan, bahkan di tingkat desa atau kelurahan. Saya akan mengontrak stasiun televisi yang paling besar untuk mengiklankan semuanya. Mungkin saya akan diundang untuk menjadi narasumber pada seminar-seminar besar yang membahas tentang bisnis dan peluang usaha.”
Berbulan-bulan, dan bertahun-tahun Zubaedah menghayal tentang perkebangan dirinya dan warung kehormatannya…
Hingga lima tahun kemudian…
Zubaedah duduk di sebuah kios sempit, di salah satu sudut pasar tradisional. Di kios itu, tak ada kehormatan yang terpajang. Di situ hanya ada rak-rak yang berisi telur-telur Itik dan telur Ayam.
Rupanya Zubaedah tak menjual kehormatan lagi, sekarang ia menjadi penjual telur…
Apa yang di hayalkan tentang warung kehormatannya ternyata tidak terwujud. Alih-alih berkembang, warung kehormatannya malah mengalami kebangkrutan. Tidak ada lagi orang yang ingin membeli kehormatan. Di mana-mana, orang-orang kini lebih “enjoy” tanpa kehormatan, yang penting ada uang, yang penting “happy”…
Sebelum beralih profesi menjadi penjual telur, Zubaedah pernah ingin membagikan gratis barang-barang kehormatannya, tapi tidak ada orang yang ingin menerimanya. Akhirnya semua di buang dan di bakar, kecuali satu… sebuah kehormatan kecil, peninggalan almarhum suaminya, tetap ia rawat lalu disimpan ke dalam hatinya.
Saat itu anaknya betanya…
“Mengapa sekalian tidak dibakar semua Bu?”
Zubaedah menjawab…
“Tidak anakku, bagaimana pun gilanya jaman ini, tatkala langit semakin menyempit, dan bumi seperti ingin meledak, biarlah kita tetap hidup dengan kehormatan kecil ini.”
source : cerpenkakapalewai.blogspot.com
image: google image