Dengan roman muka yang kelihatan pucat, murung dan sedikit kaku, sore itu si Putih datang ke rumahku. Langkahnya juga sangat tidak meyakinkan, seperti orang yang sedang malu-malu. Aku memang sedang menunggunya. Sehabis magrib, aku akan bertemu dengan pak Zenal.
Sebenarnya Si Putih sedikit telat. Sesuai perjanjian, mestinya dia datang dua puluh menit yang lalu. Tapi, ini tak masalah, syukur-syukur dia bisa datang. Si putih memang sering bermasalah dengan janji… jangankan janji denganku, janji dengan dosen di kampus pun sering dilanggarnya.
Tapi yang membuatku heran adalah mengapa si putih datang dengan gestur yang seperti itu. tidak biasanya dia memperlihatkan muka yang sejelek itu padaku. Biasanya dia selalu ceria, atau paling tidak, tampil dengan senyum khasnya yang sedikit manis karena dua lesung pipi yang mengapit bibirnya Konon lesung pipinya itu yang membuat pujaan hatinya selalu takluk dalam urusan romantismenya.
“Jangan-jangan si putih sedang sakit, tapi terpaksa datang karena dia tahu kalau aku sangat membutuhkannya… rasanya tidak. Tadi siang aku masih sempat bersamanya di perpustakaan. Bahkan kulihat dia sangat segar-semangat mencari bahan referensi makalah yang sudah keburu waktu untuk diprasentasekan. Lagi pula saya tidak yakin kalau Si Putih bersedia mengorbankan kesehatannya hanya karena alasan solidaritas-persahabatan denganku.”
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, si putih duduk di sampingku, seakan memintaku untuk memulai pembicaraan, mungkin dia butuh semacam pertanyaan. Sejujurnya saya tidak senang dengan kondisi seperti itu, bukankah dia sahabatku. Tapi, daripada tenggelam dalam kondisi yang tak nyaman itu, aku pun mencoba bertanya pada Si Putih.
“Ada apa, kelihatannya ada yang tidak beres…?”
“Maafkan saya…”
Hanya kata itu yang terucap dari bibir Si Putih, bersamaan dengan tangannya yang menggaruk-garuk kepalanya. Tentu saja saya cukup bingung dibuatnya.
“Loh, nyambungnya dimana… apa yang terjadi?”
“File tulisanmu…”
“Ada apa dengan file tulisanku?
“File tulisanmu hilang… sekali lagi maafkan saya. Saya tahu kamu akan marah gara-gara hal ini… sekali lagi maafkan saya.”
Si Putih terlihat panik.
Mendengar jawaban terakhir dari si Putih, kepalaku seperti dimasuki geranat yang dengan cepat akan meledak… File tulisan yang dimaksud oleh si Putih adalah karya tulisku yang “rada-rada” sastra anak ingusan, semacam novel fiksi “Tanpa Sabuk Pengaman”. Tulisan itu adalah hasil jerih payahku “berimajinasi-menghayal” (yang mencoba menjadi seorang penulis, meski kutahu bakatku sangat standar, bahkan di bawah standar) selama beberapa bulan.
Aku mulai tahu mengapa wajah si Putih kelihatan seperti itu. Dia sendiri sangat tahu betapa berharganya file itu buat diriku. Minggu lalu, aku telah mengajukannya ke Pak Zenal, seseorang yang bekerja di “Tinta Hitam”, salah satu penerbit lokal yang sering menerbitkan karya-karya fiksi. Meski belum ada kepastian bulat, tapi Pak Zenal telah memberikan harapan yang sangat besar kepadaku. “Tulisanmu sangat menarik untuk diterbitkan”, katanya. Pak Zenal hanya menyarankan agar aku memperjelas bagian akhir dari tulisan itu, lalu mengajukannya kembali ke manajemen “Tinta Hitam”.
“Tulisan kamu cukup berkarakter… imajinasimu cukup tajam. Gaya bahasanya, meski “lebay-lebay” sedikit, tapi bolehlah.”
Kata-kata, atau tepatnya bahasa pujian Pak Zenal seperti mengembangkan tengkorak kepalaku hingga membesar beberapa kali lipat dari ukuran aslinya. Mungkin Pak Zenal sangat paham psikologi seorang penulis “pemula” sepertiku… tapi apa pun itu, aku sangat senang. Hal yang paling membebaniku selama ini adalah ungkapan pesimis yang tak karuan itu…
“Jangan-jangan tulisanku sangat jelek, dan hanya merusak selera membaca orang.”
Selain “pemula” ternyata aku juga seorang “pemalu”. Dan seperti biasanya, rasa malu akan menghasilkan sikap ragu, rasa takut, dan kadang-kadang juga tindakan yang apatis. Untung saja kekasihku, selalu punya cara untuk membantuku melawan masalah itu, setidaknya sampai “Tanpa Sabuk Pengaman” yang file’nya hilang itu kuajukan sama Pak Zenal.
Ucapan Pak Zenal juga lumayan kuat untuk menghapus rasa maluku. Hari ini, sesuai dengan apa yang disarankannya, aku akan mengajukan kembali tulisan itu, setelah beberapa hari kuperbaiki semampuku. Tapi sepertinya rencana itu batal… batal oleh kekhilafan Si Putih.
***
Si Putih juga pasti tahu, kalau aku telah banyak mencurahkan tenaga, waktu dan pikiran untuk merampungkan tulisan itu. Ini adalah langkah pertama, setelah sekian banyak langkah “coba-coba” yang kulakukan untuk menjadi seorang penulis, dalam level amatiran.
Aku memang mulai serius menulis. Mengetik dari magrib sampai larut malam, bahkan kadang sampai subuh-terutama bila alam ideku sedang cerah, mengunjungi tempat-tempat yang kuinspirasikan sebagai latar cerita yang baik, berkenalan dan menjalin keakraban dengan beberapa orang demi mempelajari karakter tokoh yang kubuat. Dan yang pasti, aku selalu melakukan penelitian kecil-kecilan, belajar membedah berbagai fenomena sosial yang terjadi di sekitarku, untuk kemudian kutuangkan dalam cerita fiktif.
Tapi sore itu si Putih menyampaikan kabar yang begitu buruk. Entah apa yang harus kulakukan. Entah apa yang harus kusampaikan kepada pak Zenal, aku telah membuat janji dengannya. Aku betul-betul sulit menerimanya. Itu adalah satu-satunya file yang kumiliki, satu-satunya jalan adalah menulis kembali mulai dari awal, tapi ini juga terasa mustahil. Bukankah aktifitas menulis bukan soal mengingat. Menulis adalah soal imajinasi dan inspirasi yang selalu lahir secara spontan. Semuanya sangat ditentukan dengan momentum, dan itu seakan-akan tidak kumiliki lagi.
Aku tidak habis pikir, mengapa ini harus terjadi. Kusangka semuanya akan lancar-lancar saja sebagaimana perencanaan yang telah kubuat, nyatanya tidak. Tiba-tiba perencanaan itu hancur hanya gara-gara “kebetulan kecil”. Ya… kebetulan kemarin aku bertemu dengan si Putih. Laptopnya sedang rusak, dan sebagai sahabat dekatnya, aku meminjamkan laptopku untuk digunakan membuat makalah. Kebetulan di Laptop itulah kusimpan file “Tanpa Sabuk Pengaman”, hal yang paling kubangga-banggakan, terutama untuk kekasihku yang selalu memberikan motivasi. Dan entah kebetulan apalagi yang terjadi sehingga file itu hilang di tangan si Putih. Mungkin kemasukan virus, terhapus tanpa disengaja… atau… akh entahlah. Saya juga tidak punya selera mendengarkan penjelasan si Putih…
“Kamu serius dengan hal itu Putih?”
“Iya, saya serius… beberapa kali aku mencoba memperbaikinya, tapi file’nya betul-betul terhapus sama sekali… aku pasti sangat berdosa dengan hal ini, tapi sungguh ini diluar dugaan dan kesengajaanku…”
Kudengar suara si putih sedikit gemetar, ini pasti karena rasa takut yang menyelimuti jiwanya. Memang wajar jika si Putih merasakan ketakutan itu. Dia berumur tiga tahun lebih muda dariku, dalam beberapa hal, dia masih juniorku. Tubuhnya juga jauh lebih kurus dan kecil dari tubuhku. Bila aku memukulnya, kupastikan dia tidak berani melawan.
Sejenak aku terdiam. Sementara si putih masih berusaha menyampaikan beberapa penjelasan seputar sebab terjadinya hal konyol itu, seperti sedang melakukan pembelaan-pembelaan tak penting untuk meredam rasa marahku.
Tapi aku haya terdiam. Aku diam bukan karena sedang memperhatikan ucapan si putih, melainkan sedang berpikir apa yang harus kulakukan. Apa pun yang dijelaskan oleh si putih toh intinya tetap satu, file tulisanku telah hilang.
Dalam benakku sebenarnya ada dua tawaran ide, yang pertama adalah semacam rasa marah yang harus kulampiaskan, entah dengan kata-kata kasar atau tindakan yang kasar terhadap si Putih, dan yang kedua adalah semacam bisikan kesabaran. Kesabaran, sebagaimana yang didefenisikan oleh kekasihku, adalah kidung perjuangan abadi yang tak kenal lelah, pilihan untuk tetap tersenyum meski berada dalam pusaran kegagalan. Ini sedikit sulit untuk kujelaskan…
Sejenak aku bernostalgia dengan beberapa momen yang masih sangat kuingat saat menulis “Tanpa Sabuk Pengaman”. Sebenarnya saya memulainya dengan “sebuah kebingungan”. Ya… saya bingung mengurai ide-ide hidupku yang kusut. Saat itu, aku mulai kagum dengan orang-orang “pinggriran” yang seperti “terbuang” oleh jaman. Mereka adalah orang-orang kuat yang selalu memenangkan hati. Hatiku mulai tersentuh melihat pedagang-pedagang buah yang hampir tiap hari bersitegang dengan aparat penertiban-penataan kota, atau para tukang becak yang kebanyakan harus duduk karena semakin sempitnya lahan pendapatan.
Saya sangat kagum dengan otot-otot mental mereka yang sangat kuat, yang selalu tahan dengan segala hantaman dan hempasan badai kehidupan. Diam-diam aku mulai iri dengan mereka, terutama saat menyadari sikap rapuhku selama ini. Diam-diam aku mulai berusaha memutar haluan paradigmaku. Bahwa ternyata kemapanan hidup bukan terletak pada jenis pakaian atau jenis menu sarapan pagi. Kemapanan dan kualitas hidup itu ada di hati. Aku ingin membangunkan hatiku agar dapat berdiri kokoh. Aku ingin seperti mereka…
Tapi seperti yang kukatakan tadi, aku bingung… entah dengan cara apa saya bisa seperti mereka. Dari awal aku merasa telah terlahir sebagai manusia yang lemah. Lalu kebingungan itu kujawab dengan sebuah perenungan, teringat dengan pesan salah seorang idolaku, seorang penulis berkebangsan Italia “bergeraklah ke mana hati membawamu”. Perlahan, dan sangat halus… aku mulai mendengar bisikan-bisikan dari lubuk hatiku. Bisikan-bisikan itulah yang kemudian kutulis dalam “Tanpa Sabuk Pengaman”. Judul itu kupilih karena saya merasa perenungan itu tidak lebih dari sebuah perjalanan ide yang nekat, tanpa modal apa-apa kecuali secuil harapan untuk melengkapi makna hidupku.
Setelah beberapa menit terdiam, aku pun berbicara…
“Sudahlah Putih… berhentilah meminta maaf. File yang kau hilangkan itu satu-satunya file yang kumiliki. Tapi apakah file itu muncul kembali bila aku marah atau tidak memaafkanmu… tidak, bukan…”
“Apa kau serius dengan itu… apakah kau memaafkanku?”
“Ya, saya sangat serius, saya memafkanmu, kau adalah sahabatku… ini musibah kita. Jangankan file itu, kupikir nyawa pun bisa melayang, semua itu diluar kekuasaan kita untuk memilih.”
Untuk lebih meyakinkan si Putih atas ucapanku, aku pun merangkulnya sambil berbisik…
“Nanti malam aku akan mulai menulis lagi… kupikir hari ini kau memberiku inspirasi yang luar biasa.”
“Terimakasih, kau sangat baik padaku.”
“Sudahlah, maaf ini bukan hanya baik buat kamu, tapi juga buat saya. Esok-lusa barangkali kita sudah tidak seperti ini lagi. Kupikir saya tak perlu menghukummu dengan perasaan bersalah, aku adalah sahabat yang baik, bukan…”
Perlahan tapi pasti, Si putih pun mulai berani tersenyum. Awalnya masih kelihatan ragu, tapi balasan senyumku seolah mampu menghapus semua beban pikirannya. Si Putih pun tersenyum lepas.
***
Si Putih masih sedikit beruntung karena sempat meminta maaf kepadaku. Dulu saya pernah merasakan hal yang sangat buruk. Orang yang mestinya kumintai maaf, tiba-tiba pergi sebelum saya mengucapkan sepatah kata maaf itu. Aku merasa orang yang paling berdosa di dunia ini. Tak ada lagi yang bisa memaafkanku. Berbulan-bulan, dan mungkin selamanya, saya berteman dengan perasaan bersalah. Aku berusaha untuk memafkan diriku sendiri, tapi sampai saat ini saya masih gagal melakukannya.
Kupikir itu adalah alasan mengapa saya tidak perlu berpikir lebih lama untuk memaafkan Si Putih yang menghilangkan file tulisanku. Saya tidak ingin dia dikekang dengan perasaan bersalah, seperti apa yang kurasakan… Saya tahu, perasaan bersalah jauh lebih buruk daripada menjadi korban sebuah tindakan yang salah.
source : cerpenkakapalewai.blogspot.com