Tidak saja sukses, kini ia dikenal sebagai pendiri Kampung Inggris di Pare Kediri.
Suatu saat, datang dua mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel, Surabaya ke kediaman KH Ahmad Yazid di Pare, Kediri, Jawa Timur. Kedatangan mahasiswa semester delapan itu untuk belajar bahasa Inggris kepada Kiai Yazid yang kabarnya menguasai sembilan bahasa asing. Sayangnya, saat itu Kiai Yazid sedang pergi ke Majalengka, tempat mertuanya. Lantas, istri beliau menyarankan agar keduanya belajar kepada muridnya.
“Kiai sedang pergi. Lebih baik kalian belajar pada muridnya yang sedang nyapu di pelataran masjid itu,” tuturnya. Lelaki yang ditunjuk istri Kiai Yazid itu tidak lain adalah Muhammad Kalend Osen.
Awalnya, Mr (Mister-red) Kalend, demikian ia biasa disapa, kurang percaya diri untuk mengajar mereka. Pasalnya, ia sendiri belum pernah mengeyam bangku kuliah. Mereka, pikir Kalend, tentu lebih pandai ketimbang dirinya. Namun, karena titah istri sang Kiai, Kalend pun tidak kuasa menolak. “Sempat tidak percaya saja. Doktorkandas seperti saya harus mengajar calon doktorandos,” ujar Kalend berseloroh.
Lantas, ketika itu, Kalend hanya bertanya kepada dua mahasiswa itu, “Apa yang kalian bawa ke sini?” Ternyata, mereka hanya membawa 350 soal bahasa Inggris dan buku kosong. Katanya, mereka akan lulus ujian akademik bila bisa menjawab soal tersebut maksimal 70 persen. Setelah dilihat, Kalend merasa bisa menjawab semua soal. Justru, yang paling susah menjelaskannya.
Namun, dalam tempo 5 hari 5 malam, lelaki kelahiran 20 Februari 1945 ini berhasil menurunkan ilmunya kepada mereka. “Alhamdulillah, kedua mahasiswa itu akhirnya bisa lulus,” kenang Kalend yang selalu mengajak dua mahasiswa itu shalat Tahajjud.
Mendirikan BEC
Semenjak itu dua mahasiswa tadi selalu menceritakan tentang keberhasilan Kalend dalam mengajarkan bahasa Inggris. “Mereka menceritakan saya di mana-mana. Sejak itulah mulai berbondong-bondong mahasiswa belajar bahasa Inggris hingga hasilnya seperti sekarang,” tuturnya.
Tidak ada kesuksesan yang diraih dengan mulus. Proses berdirinya lembaga bahasa Inggris milik Kalend juga bergelombang, kadang surut dan pasang. Terkadang siswanya banyak terkadang pula sedikit. Tempatnya juga seadanya, di teras masjid, bawah pohon, atau halaman rumah. Selain itu, tidak mudah mengajari mereka.
Tempat kursus Kalend ketika itu belum punya nama. Ia juga belum sempat berpikir sejauh itu. Yang ada dibenaknya hanya mengajar dan mengajar. Namun, setelah ada enam muridnya –empat laki-laki dan dua perempuan– yang mengusulkan agar diberi nama, lalu ia pun memberi nama Basic English Course (BEC).
“Ide mereka sangat brilian. Masak lembaga kursus nggak ada namanya. Bagaimana kalau mereka ditanya belajar di mana. Masak dijawab belajar di teras masjid,” katanya.
BEC resmi didirikan pada 5 Juni 1977. Menurutnya, kendala yang paling terasa adalah menentukan metode belajar. Setelah enam tahun (1983), ia baru menemukan metode yang pas dan efektif. Ceritanya, ia terilhami pengalamannya belajar bahasa Arab di pesantrenya dulu, Gontor. Ketika belajar bahasa Arab, para santri diajarkan shorof-nya lebih dulu.
“Dari situ, saya berfikir untuk mengajarkan mereka tenses lebih dulu. Setelah itu baru speaking dan seterusnya,” tuturnya.
Hampir tiap bulannya ada saja pelajar yang datang untuk belajar bahasa Inggris. Kalend pun semakin memantapkan metode dan kurikulum kursusnya. Hingga akhirnya BEC menjadi buah bibir hingga ke seluruh Nusantara. Dan, kini Kecamatan Pare dikenal sebagai “Kampung Inggris”.
Waktu belajar di BEC ditempuh selama enam bulan. Peserta harus ikut dari level bawah, kebanyakan mereka lulusan SMA, sarjana atau orang yang ingin mendalami bahasa Inggris. Biayanya juga cukup ramah di kantong. Hanya Rp 170 ribu per bulan. Kini, jumlah murid BEC 600 orang dengan alumni sekitar 18 ribu yang telah bekerja, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Kalend sangat memperhatikan keislaman siswanya. Siswa perempuan yang Muslim harus berjilbab dan dilarang berpakaian ketat. Sedangkan siswi non-Muslim, diharuskan menutup aurat atau setidaknya rambutnya. Tidak hanya itu, siswanya juga dituntut kedisiplinan tinggi, misalnya datang tepat waktu.
Kini, selain BEC, telah berdiri 113 lembaga kursus bahasa Inggris. Selain itu ada juga kursus bahasa lainnya, seperti Arab, Mandarin, dan sebagainya. Mereka kebanyakan para alumnus Kalend. Kendati demikian, ia tidak merasa tersaingi, justru senang. Sebab, hal itu justru menambah Pare semakin rame.
“Seperti pasar, kalau banyak yang jualan, pembeli semakin meningkat. Saya tidak takut rezeki saya diambil orang. Dan saya juga tidak rakus meraup rezeki sebanyak-banyaknya,” jelasnya.
Untuk menjaga nuansa Islami dan ramah di ‘Kampung Inggris,’ ayah dari tiga anak ini tidak pernah lelah mengingatkan para pemilik kursus. Ia berharap, setiap lembaga kursus bisa memberikan pendidikan dan contoh yang baik kepada siswa. Paling tidak perempuannya menutup aurat.
Bekas Tukang Balok
Kalend dilahirkan dari keluarga miskin di daerah Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Hidupnya sehari-hari berjibaku di tengah-tengah hutan sebagai pencari kayu. Ekonomi keluarganya sangat memprihatinkan.
Jangankan sekolah, untuk makan saja sulit. Namun Kalend bertekad mengubah nasib. Dengan biaya hasil bekerja di hutan, ia berangkat menimba ilmu ke Pesantren Gontor Ponorogo, Jawa Timur. Padahal, saat itu usianya 27 tahun.
Kalend terbilang santri yang paling tua. Tak jarang ada teman yang mencibirnya, “Paling-paling habis putus dari pacar.” Ada juga yang iseng komentar, “Paling juga habis gagal kawin.” Tapi, karena niat sudah kuat, semangat belajarnya tetap berkobar.
Ia termasuk santri yang paling kecil mendapat wesel. Per bulan, maksimal Rp 10 ribu. Padahal, teman-temannya ada yang Rp 40 ribu bahkan hingga Rp 80 ribu. Tradisi Gontor ketika itu, setiap wesel yang datang selalu ditulis di papan tulis. Walhasil, seluruh santri tahu kiriman yang diterima Kalend.
“Dari situ, hikmahnya jadi banyak teman yang simpati dan ngasih uang, makanan, atau bahkan pakaian,” tuturnya.
Tidak kuat biayanya, akhirnya Kalend keluar dari Gontor. Padahal, masa belajarnya tinggal setahun lagi. Keinginannya untuk belajar mengantarnya ke Kiai Yazid. Ketertarikannya kepada bahasa Inggris berawal dari seringnya ia membaca Majalah Panji Masyarakat di Gontor. Pikirnya, bahasa Inggris sangat penting dan prospek ke depan masih sangat cerah.
Jerih payahnya menuai hasil. Kini bukan saja ekonomi yang didapat, tapi juga Kecamatan Pare menjadi kampung bahasa yang terkenal. “Saya tidak pernah menyangka jika akan menjadi seperti sekarang,” katanya.* Syaiful Anshor/Suara Hidayatullah JULI 2012.
Suatu saat, datang dua mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel, Surabaya ke kediaman KH Ahmad Yazid di Pare, Kediri, Jawa Timur. Kedatangan mahasiswa semester delapan itu untuk belajar bahasa Inggris kepada Kiai Yazid yang kabarnya menguasai sembilan bahasa asing. Sayangnya, saat itu Kiai Yazid sedang pergi ke Majalengka, tempat mertuanya. Lantas, istri beliau menyarankan agar keduanya belajar kepada muridnya.
“Kiai sedang pergi. Lebih baik kalian belajar pada muridnya yang sedang nyapu di pelataran masjid itu,” tuturnya. Lelaki yang ditunjuk istri Kiai Yazid itu tidak lain adalah Muhammad Kalend Osen.
Awalnya, Mr (Mister-red) Kalend, demikian ia biasa disapa, kurang percaya diri untuk mengajar mereka. Pasalnya, ia sendiri belum pernah mengeyam bangku kuliah. Mereka, pikir Kalend, tentu lebih pandai ketimbang dirinya. Namun, karena titah istri sang Kiai, Kalend pun tidak kuasa menolak. “Sempat tidak percaya saja. Doktorkandas seperti saya harus mengajar calon doktorandos,” ujar Kalend berseloroh.
Lantas, ketika itu, Kalend hanya bertanya kepada dua mahasiswa itu, “Apa yang kalian bawa ke sini?” Ternyata, mereka hanya membawa 350 soal bahasa Inggris dan buku kosong. Katanya, mereka akan lulus ujian akademik bila bisa menjawab soal tersebut maksimal 70 persen. Setelah dilihat, Kalend merasa bisa menjawab semua soal. Justru, yang paling susah menjelaskannya.
Namun, dalam tempo 5 hari 5 malam, lelaki kelahiran 20 Februari 1945 ini berhasil menurunkan ilmunya kepada mereka. “Alhamdulillah, kedua mahasiswa itu akhirnya bisa lulus,” kenang Kalend yang selalu mengajak dua mahasiswa itu shalat Tahajjud.
Mendirikan BEC
Semenjak itu dua mahasiswa tadi selalu menceritakan tentang keberhasilan Kalend dalam mengajarkan bahasa Inggris. “Mereka menceritakan saya di mana-mana. Sejak itulah mulai berbondong-bondong mahasiswa belajar bahasa Inggris hingga hasilnya seperti sekarang,” tuturnya.
Tidak ada kesuksesan yang diraih dengan mulus. Proses berdirinya lembaga bahasa Inggris milik Kalend juga bergelombang, kadang surut dan pasang. Terkadang siswanya banyak terkadang pula sedikit. Tempatnya juga seadanya, di teras masjid, bawah pohon, atau halaman rumah. Selain itu, tidak mudah mengajari mereka.
Tempat kursus Kalend ketika itu belum punya nama. Ia juga belum sempat berpikir sejauh itu. Yang ada dibenaknya hanya mengajar dan mengajar. Namun, setelah ada enam muridnya –empat laki-laki dan dua perempuan– yang mengusulkan agar diberi nama, lalu ia pun memberi nama Basic English Course (BEC).
“Ide mereka sangat brilian. Masak lembaga kursus nggak ada namanya. Bagaimana kalau mereka ditanya belajar di mana. Masak dijawab belajar di teras masjid,” katanya.
BEC resmi didirikan pada 5 Juni 1977. Menurutnya, kendala yang paling terasa adalah menentukan metode belajar. Setelah enam tahun (1983), ia baru menemukan metode yang pas dan efektif. Ceritanya, ia terilhami pengalamannya belajar bahasa Arab di pesantrenya dulu, Gontor. Ketika belajar bahasa Arab, para santri diajarkan shorof-nya lebih dulu.
“Dari situ, saya berfikir untuk mengajarkan mereka tenses lebih dulu. Setelah itu baru speaking dan seterusnya,” tuturnya.
Hampir tiap bulannya ada saja pelajar yang datang untuk belajar bahasa Inggris. Kalend pun semakin memantapkan metode dan kurikulum kursusnya. Hingga akhirnya BEC menjadi buah bibir hingga ke seluruh Nusantara. Dan, kini Kecamatan Pare dikenal sebagai “Kampung Inggris”.
Waktu belajar di BEC ditempuh selama enam bulan. Peserta harus ikut dari level bawah, kebanyakan mereka lulusan SMA, sarjana atau orang yang ingin mendalami bahasa Inggris. Biayanya juga cukup ramah di kantong. Hanya Rp 170 ribu per bulan. Kini, jumlah murid BEC 600 orang dengan alumni sekitar 18 ribu yang telah bekerja, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Kalend sangat memperhatikan keislaman siswanya. Siswa perempuan yang Muslim harus berjilbab dan dilarang berpakaian ketat. Sedangkan siswi non-Muslim, diharuskan menutup aurat atau setidaknya rambutnya. Tidak hanya itu, siswanya juga dituntut kedisiplinan tinggi, misalnya datang tepat waktu.
Kini, selain BEC, telah berdiri 113 lembaga kursus bahasa Inggris. Selain itu ada juga kursus bahasa lainnya, seperti Arab, Mandarin, dan sebagainya. Mereka kebanyakan para alumnus Kalend. Kendati demikian, ia tidak merasa tersaingi, justru senang. Sebab, hal itu justru menambah Pare semakin rame.
“Seperti pasar, kalau banyak yang jualan, pembeli semakin meningkat. Saya tidak takut rezeki saya diambil orang. Dan saya juga tidak rakus meraup rezeki sebanyak-banyaknya,” jelasnya.
Untuk menjaga nuansa Islami dan ramah di ‘Kampung Inggris,’ ayah dari tiga anak ini tidak pernah lelah mengingatkan para pemilik kursus. Ia berharap, setiap lembaga kursus bisa memberikan pendidikan dan contoh yang baik kepada siswa. Paling tidak perempuannya menutup aurat.
Bekas Tukang Balok
Kalend dilahirkan dari keluarga miskin di daerah Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Hidupnya sehari-hari berjibaku di tengah-tengah hutan sebagai pencari kayu. Ekonomi keluarganya sangat memprihatinkan.
Jangankan sekolah, untuk makan saja sulit. Namun Kalend bertekad mengubah nasib. Dengan biaya hasil bekerja di hutan, ia berangkat menimba ilmu ke Pesantren Gontor Ponorogo, Jawa Timur. Padahal, saat itu usianya 27 tahun.
Kalend terbilang santri yang paling tua. Tak jarang ada teman yang mencibirnya, “Paling-paling habis putus dari pacar.” Ada juga yang iseng komentar, “Paling juga habis gagal kawin.” Tapi, karena niat sudah kuat, semangat belajarnya tetap berkobar.
Ia termasuk santri yang paling kecil mendapat wesel. Per bulan, maksimal Rp 10 ribu. Padahal, teman-temannya ada yang Rp 40 ribu bahkan hingga Rp 80 ribu. Tradisi Gontor ketika itu, setiap wesel yang datang selalu ditulis di papan tulis. Walhasil, seluruh santri tahu kiriman yang diterima Kalend.
“Dari situ, hikmahnya jadi banyak teman yang simpati dan ngasih uang, makanan, atau bahkan pakaian,” tuturnya.
Tidak kuat biayanya, akhirnya Kalend keluar dari Gontor. Padahal, masa belajarnya tinggal setahun lagi. Keinginannya untuk belajar mengantarnya ke Kiai Yazid. Ketertarikannya kepada bahasa Inggris berawal dari seringnya ia membaca Majalah Panji Masyarakat di Gontor. Pikirnya, bahasa Inggris sangat penting dan prospek ke depan masih sangat cerah.
Jerih payahnya menuai hasil. Kini bukan saja ekonomi yang didapat, tapi juga Kecamatan Pare menjadi kampung bahasa yang terkenal. “Saya tidak pernah menyangka jika akan menjadi seperti sekarang,” katanya.* Syaiful Anshor/Suara Hidayatullah JULI 2012.