JAKARTA–MI: Sosoknya identik dengan gerakan ekonomi kerakyatan. Kapan dan di mana saja, ia selalu berbicara mengenai semakin terpuruknya ekonomi rakyat di tengah merajalelanya konglomerasi. Itulah mantan Menteri Koperasi Adi Sasono.
Kini, Ketua Umum Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) yang pernah ditulis the Indonesia’s most dangerous man? (dengan tanda tanya) oleh majalah Far Eastern Economic Review (FEER) ini tidak bisa menutupi kerisauan hatinya ketika melihat ritel modern makin agresif mengembangkan sayapnya hingga ke pelosok. Akibatnya, pedagang tradisional tergusur.
Indonesia, kata Adi, harus mencontoh negara maju. ”Singapura menempatkan ritel modern sebagai milik koperasi, Belanda mengalokasikannya ke luar kota. Di Paris, Carrefour hanya ada satu, jaraknya 60 mil dari Paris,” ujar Adi Sasono kepada Adinda Putri dari mediaindonesia.com, kemarin.
Menurut mantan aktivis Institut Teknologi Bandung (ITB) ini, satu ritel modern bisa membunuh 20 ritel setempat. Bahkan para pemasok lokal juga ikut terkena dampaknya.
Ia menilai kebijakan publik yang digulirkan pemerintah tidak konsisten. ”Secara jelas dan nyata, kekuatan asing melibas anak negeri,” kata mantan Ketua Umum Partai Merdeka ini.
Faktanya, lanjut Adi, di Jakarta ada 112 pasar modern yang hampir menguasai pasar 90%, sedangkan pasar tradisional yang masih bertahan tinggal 155, dan yang tutup karena tergilas retail modern ada 13.650 pasar tradisional, sehingga ritel lokal mengalami kemunduran.
Adi menegaskan, peraturan yang ada tidak memadai untuk menyelamatkan ekonomi kerakyatan. ”Bayangkan saja, ritel ekonomi pasar tradisional per tahun turun 8% sedangkan ritel asing per tahun naik 30%,” ungkapnya, seraya mengatakan semasanya ia melakukan penyeimbangan antara masuknya ritel luar dengan ritel lokal. ”Saya juga melihat tujuan dari ritel luar tersebut, sesuai apa tidak dengan visi dan misi koperasi,” kata mantan bakal Calon Presiden dari Partai Daulat Rakyat ini.
Adi meminta pemerintah untuk tidak memperpanjang dan memberikan perizinan baru bagi
ritel modern yang semakin agresif mengembangkan sayapnya hingga ke pelosok bekerjasama dengan perusahaan ritel lokal sehingga mematikan pedagang tradisional.
Keberadaan ritel bermerek asing tersebut dinilainya sebagai sebuah ancaman bagi keberadaan kios atau pedagang ritel kecil tradisional. “Itu bukan persaingan tapi pembantaian ekonomi rakyat oleh bangsa sendiri, oleh pemerintah sendiri. Itu harus dihentikan. Ini harus dihentikan tidak boleh dibiarkan terus,” kata Adi. (Media Indonesia online; 04 Oktober 2008 06:30 WIB)
sumber : http://hizbut-tahrir.or.id/2008/10/05/adi-sasono-itu-bukan-persaingan-tapi-pembantaian-ekonomi-rakyat/
Kini, Ketua Umum Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) yang pernah ditulis the Indonesia’s most dangerous man? (dengan tanda tanya) oleh majalah Far Eastern Economic Review (FEER) ini tidak bisa menutupi kerisauan hatinya ketika melihat ritel modern makin agresif mengembangkan sayapnya hingga ke pelosok. Akibatnya, pedagang tradisional tergusur.
Indonesia, kata Adi, harus mencontoh negara maju. ”Singapura menempatkan ritel modern sebagai milik koperasi, Belanda mengalokasikannya ke luar kota. Di Paris, Carrefour hanya ada satu, jaraknya 60 mil dari Paris,” ujar Adi Sasono kepada Adinda Putri dari mediaindonesia.com, kemarin.
Menurut mantan aktivis Institut Teknologi Bandung (ITB) ini, satu ritel modern bisa membunuh 20 ritel setempat. Bahkan para pemasok lokal juga ikut terkena dampaknya.
Ia menilai kebijakan publik yang digulirkan pemerintah tidak konsisten. ”Secara jelas dan nyata, kekuatan asing melibas anak negeri,” kata mantan Ketua Umum Partai Merdeka ini.
Faktanya, lanjut Adi, di Jakarta ada 112 pasar modern yang hampir menguasai pasar 90%, sedangkan pasar tradisional yang masih bertahan tinggal 155, dan yang tutup karena tergilas retail modern ada 13.650 pasar tradisional, sehingga ritel lokal mengalami kemunduran.
Adi menegaskan, peraturan yang ada tidak memadai untuk menyelamatkan ekonomi kerakyatan. ”Bayangkan saja, ritel ekonomi pasar tradisional per tahun turun 8% sedangkan ritel asing per tahun naik 30%,” ungkapnya, seraya mengatakan semasanya ia melakukan penyeimbangan antara masuknya ritel luar dengan ritel lokal. ”Saya juga melihat tujuan dari ritel luar tersebut, sesuai apa tidak dengan visi dan misi koperasi,” kata mantan bakal Calon Presiden dari Partai Daulat Rakyat ini.
Adi meminta pemerintah untuk tidak memperpanjang dan memberikan perizinan baru bagi
ritel modern yang semakin agresif mengembangkan sayapnya hingga ke pelosok bekerjasama dengan perusahaan ritel lokal sehingga mematikan pedagang tradisional.
Keberadaan ritel bermerek asing tersebut dinilainya sebagai sebuah ancaman bagi keberadaan kios atau pedagang ritel kecil tradisional. “Itu bukan persaingan tapi pembantaian ekonomi rakyat oleh bangsa sendiri, oleh pemerintah sendiri. Itu harus dihentikan. Ini harus dihentikan tidak boleh dibiarkan terus,” kata Adi. (Media Indonesia online; 04 Oktober 2008 06:30 WIB)
sumber : http://hizbut-tahrir.or.id/2008/10/05/adi-sasono-itu-bukan-persaingan-tapi-pembantaian-ekonomi-rakyat/