Berjalan luruslah ke surga dan jangan pernah berpikir untuk kembali…
Suhu di gurun mencapai empat puluh lima derajat. Angin bertiup hanya sesekali. Debu-debu terangkat dan menempeli kulit perempuan yang sudah basah dengan peluh. Tak ada tanda-tanda kehidupan, tapi detak jantung terus dipacu oleh detik-detik keyakinan yang deras.
Hanya bayangannya saja yang setia menemani. Dia terus berjalan, langkah-demi langkah, di antara harapan dan halusinasinya tentang surga. Perempuan itu memang akan berjalan ke surga. Dia adalah orang pertama yang akan membuka pintunya. Dia akan minum anggur dan memakan buah keabadian di sana.
Sudah seharian ia berjalan di atas gurun. Sebuah perjalanan yang meletihkan, otot kakinya kian merapuh, tapi cita-cita yang telah dibangun tak mungkin disurutkan.
Amena sebenarnya sedang hamil tua. Usia kandungannya sudah genap Sembilan bulan empat belas hari. Mungkin besok malam dia akan melahirkan. Dia bertekad untuk melakukan itu di surga.
Aku mulai lelah… mungkin aku butuh istirahat.
Tidak, belum saatnya kau beristirahat, teruslah berjalan atau kau tidak akan menemukan surga itu…
Suara itu terdengar lantang di hati Amena, entah dari mana datangnya, tapi Amena sangat turut pada suara itu. Ia terus melangkah…
Surga adalah inspirasi jutaan orang. Sebuah keindahan dan kenikmatan sejati, diagungkan dan dicita-citakan. Kata “surga” mengilhami orang-orang untuk berbuat baik, menciptakan sekian banyak persepsi. Surga adalah tempat dimana sungai-sungai mengalirkan madu. Buah-buahan yang tak kenal musim. Istana yang dibangun dari emas dan berlian. Surga adalah muara dari segala kebaikan, cerita tentang bidadari dan kerajaan Tuhan.
Tapi surga apa yang sedang dicari oleh Amena. Mengapa ia harus berjalan di atas gurun pasir yang tandus itu…
Amena tak membawa bekal apa-apa. Ia sangat tahu bahwa sebanyak apapun bekal yang dibawa, pasti tidak akan cukup untuk dipakai dalam perjalanan itu. Daripada memberatkan langkah kakinya, Amena cukup membawa serta hatinya. Hati hanyalah segumpal daging, tapi hati cukup untuk menampung sebuah keyakinan, hal yang paling dibutuhkan oleh Amena saat itu.
Amena memegang perutnya…
“Anakku, kau akan lahir di istana surga. Kau akan dimandikan oleh bidadari dan malaikat yang selalu tersenyum.”
…
Di malam hari, suhu gurun berubah drastis. Rasa dingin seperti ingin membekukan sel-sel darah. Tak ada suara kecuali deru angin. Dalam perjalanan yang sepi, Amena terus menghibur diri, membayangkan betapa indahnya hidup disurga. Di sana ia akan menjawab segala keinginannya dengan kenyataan yang sejati.
Ada banyak badai dalam perjalanannya, tapi Amena tidak ingin memboroskan energinya untuk melawan badai-badai itu. Bila tidak dilawan, badai pun akan menjadi teman yang bisa memberi kekuatan.
Sementara itu bulan bersinar terang. Wajah tenang berpadu rasa optimis masih membalut tubuh Amena. “Wahai yang kudamba, dekaplah aku… selimuti aku dengan sinar keemasanmu.”
Jauh di depan sana, Amena melihat sebuah bangunan yang sangat besar dan megah.
“Aku tidak pernah melihat bangunan yang sebesar dan semegah itu, jangan-jangan di sanalah surga itu.”
Amena mempercepat langkahnya. Di atas gurun tak ada tikungan atau lorong sempit. Amena cukup leluasa untuk berjalan hingga menggapai bangunan besar yang dilihatnya itu.
Pelan-pelan Amena memasuki pekarangan bangunan yang terlihat sangat rapi dan bersih. Di sana ada taman dengan aneka bunga-bungaan. Ada juga kolam dengan air jernih, serta berisi berbagai jenis ikan dengan warna-warninya yang indah. Entah bagaimana hal itu bisa ada di atas gurun pasir yang gersang.
“Pasti ada malaikat yang sangat serius merawat tempat ini.”
Demikian yang terlintas dalam pikiran Amena.
Amena bergegas mendekati pintu dan mengetuknya. Sampai cukup lama Amena mengetuk pintu, tapi pintu itu tidak terbuka.
Di dorong oleh rasa penasaran yang tinggi, Amena mencoba membuka sendiri pintu itu. Ternyata benar, pintu tidak terkunci. Semua tampak indah.
Amena memasuki bangunan itu. Amena berusaha membuang rasa heran dan takjubnya. Dalam bangunan ada ruangan yang sangat luas, lampu yang menyala, dan lantai marmer yang sangat bersih. Meja, kursi dan aksesoris ruangan lainnya tertata dengan sangat rapi, ada juga gambar-gambar indah yang terpajang di dinding. Amena terus menjelajahi bangunan itu.
Di salah satu sudut ruangan ada sebuah tangga menuju lantai dua. Meski sedikit ragu, Amena menyusuri anak tangga itu. Di lantai dua ternyata terdiri dari deretan kamar yang saling berhadap-hadapan. Jumlah kamar sangat banyak, Amena tak sanggup menghitungnya.
Berhati-hatilah atas apa yang kau lihat dan apa yang kau rasakan…
“Jangan-jangan ini adalah jebakan Iblis.”
Amena kembali turun ke lantai dasar. Sebenarnya ia tahu kalau bangunan itu terdiri dari tiga lantai, tapi suara yang kembali terdengar dan menggetarkan hatinya seperti memintanya untuk turun.
“Aku harus pergi dari tempat ini.”
Amena mencoba bergegas ke luar, tapi langkahnya tertahan oleh seorang nenek yang sedang duduk di teras sambil menghisap gulungan tembakau.
“Kamu tidak usah pergi.”
Kata nenek itu sambil mengepulkan asap dari dalam mulutnya.
“Masuklah ke dalam.”
Katanya lagi sambil bangkit dari duduknya dan berjalan masuk ke dalam ruangan dari bangunan itu. Sementara Amena masih berdiri dan terdiam di teras.
“Masuklah, aku punya roti dan teh hangat buat kamu…”
Perlahan Amena ikut masuk ke dalam dan duduk di sebuah kursi.
“Kamu siapa…?”
Amena memberanikan diri bertanya pada perempuan tua yang juga duduk di depannya.
“Namaku Sartika, Tapi aku mulai lupa dengan banyak hal tentang diriku, sepertinya pertanyaanmu membuatku mencoba mengingat kembali… siapa aku…”
Sejenak, Sartika kemudian terdiam lalu melanjutkan ceritanya.
“Sebenarnya aku tidak tahu kalau aku sudah mati atau belum. Satu hal yang aku tahu, aku sedang hidup. Seorang lelaki, tepatnya ayah dari anak-anakku, pernah menusuk perutku dengan sebilah pisau. Saat itu aku mengerang kesakitan hingga tak sadarkan diri. Tapi setelah aku sadar, tiba-tiba aku telah berada dalam bangunan ini. Bekas luka di perutku juga masih ada.”
Stasiun Penantian
Sartika mencoba berdiri dan memperlihatkan bekas luka diperutnya pada Amena.
“Apakah kamu tahu nama tempat ini?”
Amena kembali bertanya.
“Ini adalah bangunan penantian, seluruh manusia akan datang untuk berlindung disini. Matahari akan turun dan membakar siapa saja. Bila itutelah terjadi, semua makhluk akan meleleh, kecuali yang sempat berlindung di sini. Sebaiknya kau tinggal saja di sini, kulihat perutmu sudah sangat besar, pasti tidak lama lagi kau akan melahirkan. Hanya bangunan ini yang bisa dijadikan tempat berlindung.”
“Tidak, Aku harus pergi… aku akan melahirkan besok malam dan aku akan melakukannya di surga.”
Amena menyela ucapan Sartika.
“Hahaha… ke surga… Tidak ada gunanya kamu ke surga, kamu tidak akan sanggup untuk sampai ke sana. Lagi pula, malaikat-malaikat pelayan surgasedang tertidur panjang, ia tak akan bangun sebelum seluruh manusia hadir di sini.”
“Akh… kau menjelaskan hal lain dari apa yang kuyakini tentang surga.”
Amena kembali berbicara. Tapi Sartika tidak menanggapi ucapan Amena, ia kembali berdiri dan masuk ke dalam. Sesaat kemudian ia kembali dengan membawa segelas teh hangat dan beberapa potong Roti untuk Amena.
Meski sedikit ragu, tapi akhirnya Amena meminum teh dan memakan roti pemberian Sartika.
“Dari mana teh dan roti ini?”
Amena bertanya pada Sartika.
“Tadi, sebelum kau tiba, ada malaikat yang membawanya, mungkin dia tahu kalau kau akan datang di sini. Bagaimana rasanya, enak bukan?”
“Iya, sangat enak… roti yang bercampur keju dan susu, aku sangat menyukainya.”
Sebenarnya Amena ingin segera pergi, tapi ucapan Sartika mulai mempengaruhi langkahnya. Dalam kondisi demikian Amena sangat butuh suara yang selalu menuntun perjalanannya. Tapi kali ini, suara itu tak datang, sementara Amena tahu kalau ia tak punya waktu yang lama lagi. Besok ia akan melahirkan.
Sebelum sempat beranjak pergi, cepat-cepat Sartika mengajak Amena untuk menjelajahi bangunan itu. Mereka kemudian naik ke lantai dua, dimana sekian banyak kamar berjejer. Amena tidak menyangka kalau beberapa dari kamar itu telah terisi dengan orang-orang yang sedang terbaring tak sadarkan diri.
“Hanya sebagian kecil yang baru terisi, tapi suatu saat, kamar-kamar itu akan disesaki dengan manusia.”
Sartika menjelaskan segala apa yang dilihat oleh Amena.
“Sekarang aku akan menunjukkan sebuah kamar yang mungkin bisa memberimu penjelasan tentang bangunan ini.”
Sartika terus berbicara dan mengajak Amena berjalan di antara kamar-kamar itu. Amena hanya terdiam, dan mencoba mengikuti segala arahan Sartika. Hingga mereka sampai di salah satu kamar yang sangat mengherankan buat Amena.
“Itu ibuku…”
Tiba-tiba Amena berteriak cukup keras. Ia terkejut ketika melihat ibunya terbaring di kamar yang baru saja ditunjukkan oleh Sartika.
“Iya benar, itu Ibumu.”
Sartika membenarkan ucapan Amena.
“Tapi bagaimana mungkin ibuku ada disini, dia sudah meninggal tiga tahun yang lalu.”
“Ibumu sedang tertidur panjang di sini.”
Sartika menjawab rasa heran Amena.
“Kalau begitu aku akan membangunkannya…”
Amena mencoba masuk ke dalam kamar, tapi Sartika segera mencegahnya.
“Jangan, Ibumu sedang menikmati ketenangannya. Jika kau membangunkannya, maka kau akan menghancurkan ketenangannya… kemarilah.”
Sartika kembali mengajak Amena ke sisi lain dari bangunan itu. Kali ini Sartika mengajak Amena untuk naik ke bagian paling atas dari bangunan itu. Dari sana, pandangan dapat dilempar sejauh mungkin.
“Kamu lihat gumpalan badai hitam di sana.”
Ucap sartika sambil mengarahkan telunjuknya ke depan. Amena pun mengarahkan pandangannya sesuai arah yang ditunjukkan oleh Sartika. Dari kejauhan tampak gumpalan hitam yang bergerak-gerak di atas pasir.
“Benda apa itu?” tanya Amena.
“Itu adalah gumpalan badai hitam yang sangat tebal, di balik itulah surga yang kau cari. Itu sebabnya aku memintamu untuk tetap tinggal disini. Kamu tak akan sanggup melewati badai hitam itu.”
“Lalu bagaimana caranya melewati badai itu…”
“Badai hitam hanya bisa dilalui bila seluruh kekuatan manusia dikumpulkan. Kita harus menanti di sini hingga seluruh manusia akan datang dan bersatu untuk melewatinya.”
“Apakah benar apa yang diucapkan oleh Sartika, jawablah… ”
Amena memanggil suara yang sering muncul di hatinya, tapi suara itu tak juga datang.
… Sampai akhirnya muncul juga.
Belum saatnya aku menjelaskannya padamu, saatnya kamu belajar…
“Apakah selamanya aku harus belajar?”
Buru-buru Amena bertanya, sebelum suara itu kembali menghilang.
Tidak… Suatu saat, tidak ada gunanya kau belajar. Saat itu, kebodohan juga akan terasa nikmat…
…
Keesokan harinya, seorang pemuda juga singgah di bangunan itu. Tapi sekujur tubuhnya penuh dengan luka. Kulit-kulitnya melepuh seperti baru saja terbakar api. Ia Kelihatan sangat lemah dan sekarat. Sartika segera mendekati dan membantu pemuda itu masuk ke dalam ruangan.
“Bagaimana perasaanmu?” Sartika bertanya untuk memastikan kondisi pemuda itu.
“Perasaanku sangat buruk, aku seperti terbaring di atas bara.”
“Tenanglah, aku akan mengobatimu.”
Sartika mencoba menenangkan pemuda itu.
“Apakah kau bisa mengobatiku?”
“Saya tidak cukup yakin, tapi biarlah saya mencobanya, siapa namamu anak muda?”
“Namaku Safga.”
Tanpa berbicara lagi, sartika mengusapkan tangannya pada tubuh Safga. Sekejap saja, luka-luka itu sembuh.
“Sekarang kau boleh beristirahat” ucap Sartika.
Safga pun menuruti ucapan Sartika, ia berbaring di lantai hingga kemudian tertidur.
Amena menyaksikan itu dengan penuh rasa heran.
“Apakah kamu tahu siapa Safga sebenarnya?” tanya Amena pada Sartika.
“Safga adalah orang yang sangat jahat, dia telah membunuh banyak orang.”
“Kalau begitu, mengapa kau mengobatinya, tidakkah kau tahu kalau nanti bangun, dia akan membunuh kita?”
Amena terlihat khawatir.
“Hehehe, aku sangat ragu kalau di sini ada kematian, sudah puluhan tahun aku di sini, dan aku tak pernah melihat bayangan kematian.”
“Apakah kamu tahu untuk apa dia kesini…?”
Amena memburu Sartika dengan pertanyaan.
“Kemungkinan besar dia sedang berjalan ke neraka.”
Alena pernah kecil, menangis saat ibunya tak membelikan baju di Hari Raya. Alena pernah berbohong pada gurunya saat tugas matematikanya tidak ia kerjakan. Alena pernah tidak tidur semalaman gara-gara terpikat pada seorang lelaki yang dua tahun lebih tua darinya. Terakhir sekali, sebelum perjalannya di atas gurun, Alena pasrah dan hampir tidak percaya pada siapapun kecuali dirinya dan Tuhan.
Ini gurun kematian…
Bukan, ini gurun kehidupan.
Entah…
Di balik kehidupan masih ada kehidupan yang lebih sejati…
Suara itu kembali terdengar. Hal itu membuat perasaan Amena menjadi lega.
“Mengapa hanya suara yang kau tunjukkan padaku, mengapa kau tidak menampakkan wujudmu, aku mulai ragu dengan dirimu.”
Bola Matamu adalah bagian dari wujudku, jadi mana mungkin kau bisa melihatku…
“Apakah kau masih akan melangkah sementara dalam bangunan megah ini semua sudah tampak baik.”
Sartika menegur Amena yang sedang terdiam.
“Ini bukan soal kebaikan, tapi aku sedang mempertaruhkan keyakinanku.”
“Salah, justru sekarang kau dituntun dengan keraguan.”
“Kau seperti setan yang mencoba merayu dan menghalangi perjalananku ke surga.”
“hehehe, di sini tidak ada setan atau pun iblis, tidak ada hukum tentang amal dan dosa.”
“Apakah di sini kita masih berhak berdoa?”
“Tidak… di sini, pintu doa telah tertutup.”
“Apa… Pintu doa telah tertutup…!!? Kalau demikian, celakalah aku.”
Safga yang tadinya terbaring, tiba-tiba bangkit dan bertanya pada Sartika.
“Iya, sekarang nikmatilah setiap kenyataan yang menimpamu, dan ingat,jangan pernah berpikir untuk lari dari kenyataan ini, sebab sekecil apa pun pikiran licikmu, maka tubuhmu akan kembali kepanasan dan dipenuhi dengan luka.”
Tanpa disadari sudah sehari semalam Amena berada di bangunan itu. Ia mulai merasa aneh dengan perutnya. Anak yang ada dalam kandungannya akan lahir. Gerak-gerik bayi dalam rahimnya pun kian terasa.
“Tenangkan pikiranmu, kamu akan baik-baik saja.”
Sartika berusaha menguatkan Amena. Layaknya seorang dokter kebidanan, Sartika kemudian membantu persalinan Amena.
“Tarik nafas…
Terus… terus… terus!!!”
Rintihan Amena terdengar keras, semakin lama semakin keras, lalu disusul dengan tangisan bayi. Amena tak sadarkan diri.
Setelah beberapa jam kemudian, Amena mulai sadar. Ia baru memahami apa yang sebenarnya terjadi, sekarang ia berada di sebuah ruang operasi persalinan Rumah Sakit Insan Cita.
“Dimana Sartika, dimana Safga…”
Rasa penasaran Amena tidak berlanjut, seorang perawat dan suaminya datang mendekatinya sambil membawa seorang bayi laki-laki.
“Ini bayi ibu” Ucap sang perawat sambil menyerahkan bayi itu pada Amena.
Amena pun menyambut bayi itu dengan perasaan bahagia. Ia menoleh ke arah suaminya dan menguntai senyum kesyukuran. Akhirnya perjuangannya di ruang operasi, antara hidup dan mati, terjawab indah oleh suara tangis dan wangi sang pangeran kecilnya.
sumber : http://cerpenkakapalewai.blogspot.com
image : google